Malam sudah menjelang pekat ketika beberapa bulan lalu, saya dan seorang sahabat untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di pelosok Sragen. Gigilan kami sepanjang jalan terhapus sejenak melihat betapa besar tenda yang terpasang di depan rumahnya, Subhanallah. Setelah ucap salam dan segenap pelukan kangen, tahukah anda kalimat apa yang terucap dari sahabat saya yang hendak menikah itu. That’s it,” Kalian tu kenapa to kok pada ke sini?!” plus cengiran geje. Spontan kami yang mendengar terpingkal dan menjawab, “Gak ngerti juga nih. Emang besok ada apa ya…” :))
Esok hari kesibukan dimulai. Bahkan setelah kami bertiga selesai ‘berdandan’ dengan kostum masing-masing, masih juga kami cekikikan mempertanyakan acara apakah yang akan terjadi beberapa menit lagi itu, parah. Setelah itu kami masih sempat-sempatnya ribut saling membagikan tisu. Waktu itu saya dengan geli berkata, “Buat apa ini, emangnya mau nangis ya ntar?!” :D
Sekitar pukul sembilan pagi, kami bertiga sudah duduk di ruang tamu. Sementara itu lamat di halaman rumah, ayah sahabat saya dan (calon) suaminya bergenggaman mengikrarkan sebuah janji suci nan agung. Dari ruang tamu, tanpa disadari kami mulai terisak. Entah bagaimana awalnya, bagi saya terasa seperti menyaksikan sebuah keagungan ikatan yang tak kasat mata. Ikatan yang begitu banyak mengubah hal dalam kehidupan dua orang insan, yang dengannya mereka tidak lagi dua raga saja tetapi dua raga dengan masing-masing separuh jiwa di dalamnya. Keharuan kami kembali pecah ketika ibu sahabat saya merengkuh menantunya mendekat dan berucap lirih, “Titip anakku ya mas…”
Sungguh, mengetikkan kata itu kembali saja sudah membuat mata saya merebak basah :)
Jujur saja, ketika kecil dulu, saya mengonsepkan pernikahan sebagai pestanya saja :D Tatanan panggung megah, makanan berlimpah, dan juga riasan yang wah. Maklum, pemikiran bocah, hehehe. Baru ketika jatah usia semakin berkurang, alhamdulillah pemahaman itu yang bertambah. Dari segala kemegahan ataupun setiap detail memusingkan pada setiap pernikahan, intinya selalu sama; tentang tanggung jawab.
Pada kisah sahabat saya tadi, pada awalnya sempat terasa menggelikan menyaksikan perubahan status mereka. Yang sebelumnya, dua-duanya adalah sahabat saya juga, teman bercanda, bertukar pikiran, bertengkar (upss, afwan keceplosan :D) hingga saling menasihati. Lalu sekarang, see?! Ternyata mereka telah sah mengemban amanah yang semakin besar. Bergandengan sepanjang hayat—bahkan hingga akhirat—untuk saling menjaga dan menguatkan kebaikan masing-masing, untuk saling membenahi kekurangan masing-masing dengan bahasa kema’rufan. Pengalaman kali itu terulang pada pernikahan Mamas. Lucu juga awalnya menjadi bagian dari keramaian dan keributan persiapan yang terjadi. Namun kembali ada yang berdesir ketika menjadi saksi mitsaqan ghalidza yang diembannya kini. Bahwa resmi sudah amanahnya bertambah, dari ibuk, kemudian saya, lalu kini istri dan insyaAllah anak perempuannya kelak. Terharu juga saya :)
Saya kemudian menjadi teringat bahwa pada setiap akad nikah yang saya saksikan, pasti tangan wali menjabat tangan mempelai pria erat-erat. Sekarang saya paham bahwa jemari yang saling menggenggam itu bukan sekedar tanda kesungguhan tetapi juga kiasan akan tanggung jawab yang selanjutnya akan teralihkan. Bukan hanya dalam kecukupan kebutuhan hidup, akan tetapi juga tanggung jawab untuk membentuk dan menguatkan akhlakul karimah masing-masing. Sungguh sesuatu kan, dan sungguh juga termasuk sesuatu yang sungguh-sungguh lebih dari sekedar genggaman jemari :)